1. Home
  2. fakta
  3. unik
  4. Pakai Sarung dan Peci di Gereja? Sudah Biasa Kok di Gereja Santo Servatius

Pakai Sarung dan Peci di Gereja? Sudah Biasa Kok di Gereja Santo Servatius

0
0

Indotnesia, BEKASI – Sarung dan peci identik dengan identitas agama sebagai perlengkapan sholat umat Islam. Meski begitu, di Gereja Santo Servatius, ternyata sarung dan peci juga digunakan oleh umat katolik.

Pemandangan umat yang mengenakan sarung dan peci di Gereja Santo Servatius merupakan hal lumrah. Tetapi, penggunaannya disesuaikan seperti pakaian adat resmi khas Betawi yang biasa digunakan ketika pemilihan Abang None.

Merunut berdasarkan sejarah, pemakaian sarung dan peci di gereja yang terletak di Jalan Raya Kampung Sawah RT 0006/04, No. 75, Kelurahan Jati Melati, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat ini, tak lepas dari peristiwa 1896. 

Kala itu, 18 orang warga Kampung Sawah asli Betawi dibaptis menjadi penganut Katolik. Menurut salah satu umat, A. Yepta Noron, penggunaan pakaian ala Betawi telah digunakan sejak dulu ketika Gereja Katolik Santo Servatius berdiri.

“Dulu, para sesepuh mengenakan baju putih dan celana komprang. Bentuk baju yang digunakan seperti baju koko atau yang disebut baju sadariah. Lalu, sekarang untuk memudahkan jemaat, kita pakai baju koko karena lebih gampang dan sarung juga,” katanya.

Sejak ada umat perdana yang mengikrarkan diri sebagai pemeluk Katolik pada 1896, gereja ini telah menggunakan adat Betawi di setiap kegiatan secara turun temurun. 

Maka, tak heran bila Gereja Katolik Santo Servatius ini sangat kental dengan budaya Betawi, terbuka pada keanekaragaman dan semangat persaudaraan sejati berlandaskan cinta kasih serta pelayanan.

Krida Wibawa Khas Gereja Santo Servatius

Meski dikenal dengan gereja Betawi, tidak semua jemaat Gereja Katolik Santo Servatius asli Betawi. Adanya perbedaan, tidak lantas membuat gereja ini tertutup. Malah, setiap jemaat terbuka dan senang untuk melestarikan budaya Betawi di Gereja.

Setelah budaya Betawi diputuskan menjadi identitas gereja, perkerabatan Santo Servatius dibentuk pada 13 Mei 1996. Sebanyak 12 orang betawi asli dari Kampung Sawah, dilantik untuk menghidupkan kembali tradisi.

Peristiwa tersebut juga melahirkan kelompok pengawal misa, bernama Krida Wibawa. Tugas sosial kelompok ini adalah menjaga ketertiban selama berlangsungnya kegiatan misa. Tak lupa juga memakai pakaian ala Betawi dengan sarung dan peci.

Bagi sejumlah umat, menggunakan sarung dan peci di gereja Betawi ini merupakan identitas nasional. Yepta Noron juga menuturkan, pemakaian sarung dan peci tidak berkaitan dengan masalah beribadah.

“Jadi, umumnya kan bagi saudara-saudara Muslim sarung merupakan kelengkapan untuk ibadah. Tapi untuk kita orang sini (Kampung Sawah yang dianggap orang Betawi) juga mengenakan sarung tapi tidak dikaitkan dengan kegiatan keagamaan. Apalagi kegiatan untuk misa. Jadi, kelengkapan untuk aksesoris pakaian aja,” jelasnya.

Keteguhan untuk memegang tradisi dan budaya betawi di Gereja Santo Servatius menjadi pengikat persaudaraan. Nilai akulturasi di sini adalah bukti toleransi dan keberagaman hidup di antara para umat.

Asy Syaffa Nada biasa dipanggil Syafa. Selain suka menulis, dia juga hobi gambar yang lucu-lucu. Kalau mau kenalan atau lihat koleksi gambarnya bisa cek @dudelthings