1. Home
  2. fakta
  3. unik
  4. Sejarah Keberadaan Kue Putu

Sejarah Keberadaan Kue Putu

0
0

Indotnesia.com, YOGYAKARTA – Berbagai macam kudapan tradisional yang ada di Indonesia, salah satunya adalah kue putu. Kue putu adalah jajanan klasik yang terbuat dari tepung beras dan berisi gula merah dengan taburan kelapa di luarnya. Di Indonesia, kudapan ini biasa dijajakan menggunakan gerobak dorong ataupun gerobak pikul. Masyarakat Indonesia sendiri biasa menyantap kue ini saat sore hari menjelang malam.

Begitu akrab dengan masyarakat Indonesia, rupanya kue yang memiliki rasa lezat dan gurih ini tidak berasal dari Nusantara. Beberapa bukti sejarah menyebutkan kue ini berasal dari negeri Tirai Bambu. Tentu saja, kue putu masuk ke Indonesia melalui akulturasi masyarakat imigran China.

Kue yang berada pada masa Kerajaan China

Berbahan dasar tepung beras yang dikukus menggunakan selongsong bambu, membuat kue putu bambu memiliki tekstur yang lembut empuk. Tak hanya itu, rasanya yang manis dan gurih bikin kue ini disukai dan dijadikan kudapan para Kaisar Kerajaan. Ya, kue putu muncul sejak ratusan tahun lalu pada masa Kerajaan China.

Melihat catatan, sejarah kue putu sudah ada sejak masa Kerajaan Dinasti Ming, yaitu antara tahun 1368–1644. Bukti keberadaannya dapat ditemukan di China Silk Museum, yang berada di Hangzhou, China. Di China, kue ini dikenal dengan sebutan xiao roe xiao long, yang memiliki arti kue yang terbuat dari tepung beras yang diisi kacang hijau. Dahulu, kue ini dimasak menggunakan cetakan bambu yang lalu dikukus hingga matang.

Keberadaan kue putu di Indonesia

Kegemaran masyarakat China bermigrasi dan berdagang, membuat Nusantara berakulturasi banyak hal dengan negara Tiongkok, salah satunya adalah kuliner. Bentuk akulturasi dalam hal kuliner tradisional, salah satunya bisa terlihat pada kue putu. Kalau di China kue itu menggunakan isian kacang hijau. Lalu, masyarakat Nusantara menggantinya dengan gula merah dan tentu saja juga mengganti namanya menjadi kue putu.

Nama putu merupakan serapan dari bahasa Jawa ‘puthu’ yang diambil dari bahasa Jawa Kuno ‘puthon’. Puthon memiliki arti ‘bundar’ atau ‘lingkaran’ yang merujuk pada bentuk rongga bambu yang berbentuk lingkaran yang digunakan dalam proses pemasakan kue putu. Kata puthu juga muncul dalam naskah klasik Serat Centhini yang ditulis pada masa Kerajaan Mataram tahun 1814. Dalam naskah, ada kejadian yang menceritakan penyebutan puthu, yaitu tahun 1630 di Desa Wanamarta, Jawa Timur. 

Dua cerita yang terangkat yaitu ketika Ki Bayi Panurta meminta muridnya menyediakan hidangan pagi. Tersebutlah beberapa hidangan, sedang makanan sampingannya adalah serabi dan puthu. Peristiwa lain ketika Nyai Daya dan Nyai Sumbaling sedang menyiapkan hidangan setelah salat Subuh. Hidangan yang disiapkan cukup banyak, yaitu gemblong, ulen-ulen, lempeng, serabi, puthu, jadah, jenang, dendeng balur, dendeng gepuk, pisang bakar, kupat, balendrang, jenang grendul, pisang raja dan wedang bubuk.

Kue putu bambu yang melengking

Kue putu masih bisa ditemui sampai saat ini, walau keberadaanya terbilang sudah cukup langka. Beberapa ada yang memperdagangkannya menggunakan gerobak dorong maupun gerobak pikul. Bukan hanya rasanya yang gurih dan manis, keberadaan penjual kue putu juga jadi kenangan tersendiri bagi sebagian orang.

Proses pemasakan kue putu yang menggunakan rongga bambu sebagai cetakannya dan dikukus dengan cara yang unik membuat kue putu menarik perhatian. Pasalnya, suara melengking yang ditimbulkan dalam proses pemasakan kue putu, seakan tertancap sebagai simbol keberadaan penjual kue putu bambu yang memanggil para pembelinya.

Sayangnya, saat ini tidak semua menggunakan penjual kue putu menggunakan teknik memasak yang menghasilkan siulan. Karena, sekarang kebanyakan penjual kue putu bambu menggunakan gerobak dorong dan mangkal, sehingga  tak perlu lagi menyiulkan bunyi untuk memanggil pembeli. 

Dwi Wulandari Memiliki berjuta ide cerita yang siap dituangkan kapanpun dibutuhkan. Suka tertawa lepas dan seringkali receh tanpa sebab.