1. Home
  2. fakta
  3. unik
  4. Kasepuhan Ciptagelar, Bertani untuk Kehidupan

Kasepuhan Ciptagelar, Bertani untuk Kehidupan

0
0

Indotnesia, SUKABUMI – Di wilayah Jawa Barat bagian Selatan, terdapat masyarakat adat yang masih memegang teguh tradisi leluhur, terutama dalam hal pengelolaan pertanian. Namanya, Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di kawasan pedalaman Gunung Halimun-Salak.

Mengutip dari situs resmi ciptagelar.info, Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat hukum adat yang berada di kawasan pedalaman Gunung Halimun-Salak. 

Berdasarkan catatan sejarah, kampung adat Kasepuhan Ciptagelar berdiri pada 1368. Hingga sekarang, tonggak perubahan kepemimpinan pun masih dilakukan secara turun temurun.

Dalam perjalanannya, kampung adat yang dipimpin oleh seorang ‘Abah’ ini, telah mengalami beberapa kali perpindahan desa pusat pemerintahan. Namun, secara administratif, Kasepuhan Ciptagelar terletak di wilayah dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Meski telah tercatat secara administratif, letak Kasepuhan Ciptagelar tak menutup kemungkinan untuk berpindah. Sebab, masyarakat adat ini masih berpegang teguh pada tradisi berpindah tempat berdasarkan wangsit yang diterima dari para leluhur.

Oleh karena itu, setiap rumah warga di Ciptagelar terbuat dari kayu yang dilapisi bilik bambu dan hanya beratapkan pelepah aren yang dikeringkan. Bentuk bangunan yang tidak permanen itu akan mudah dipindahkan ketika tiba-tiba wangsit datang kepada sang Pemimpin Kasepuhan.

Menjaga Tradisi Bertani Khas Kasepuhan Ciptagelar

Terletak di dataran tinggi di antara lembah pegunungan Halimun, warga kasepuhan adalah masyarakat adat yang bersandar pada pertanian, terutama budidaya padi. 

Menurut Yoyo Yogasmana, Juru Bicara Kasepuhan Ciptagelar,  masyarakat Ciptagelar sejak dulu merupakan masyarakat yang menjaga titipan leluhur, terutama dalam hal pertanian padi. 

“Bagi warga masyarakat Ciptagelar, sistem pengelolaan pertanian terutama padi itu semuanya harus manual,” ujarnya.

Yoyo juga menjelaskan, masyarakat masih menggunakan kerbau untuk membajak sawah meski sudah ada teknologi modern seperti traktor. Pengolahan padi pun hanya dilakukan dengan ditumbuk karena pemakaian mesin penggiling dilarang. Selain itu, penggunaan pupuk kimia juga tidak jadi pantangan.

Di Kasepuhan Ciptagelar, menanam padi hanya boleh dilakukan satu kali dalam setahun. Musim tanam panen sekali setahun itu dilakukan dengan mengikuti petunjuk arah bintang atau astronomi.

Dalam setahun, proses bertani ini berjalan dengan beberapa rangkaian adat, yaitu ngasut (proses menanam), mipit (proses panen), nganyaran (merasakan hasil panen pertama kali), ponggokan (persiapan pesta panen), dan serentaun (pesta panen).

Namun dalam kehidupan sehari-hari pelaksanaan kegiatan keagamaannya masih didominasi kepercayaan terhadap adat dan tradisi nenek moyangnya (tatali paranti karuhun).

Meski dalam sejumlah kegiatan keagamaan didominasi kepercayaan adat dan tradisi nenek moyang, mayoritas agama warga Kasepuhan Ciptagelar adalah Islam.

Menghargai Padi

Hubungan antara manusia dan padi bagi masyarakat kampung adat Kasepuhan Ciptagelar memiliki keterikatan yang dekat. Bahkan, mereka memiliki penghormatan terhadap padi sesuai ajaran nenek moyang yang masih diterapkan hingga saat ini.

Penghormatan tersebut salah satunya ditunjukkan dengan menempatkan hasil panen padi di leuit atau rumah padi. Bagi Yoyo, seperti halnya manusia yang tinggal di rumah, padi juga harus ditempatkan di lumbung atau leuit sebagai tempat penyimpanan.

“Karena kita punya penghormatan, perlakuan terhadap padi itu sendiri yang kalau kita selalu bilang seperti memperlakukan diri kita sendiri,” katanya.

Selain memperhatikan leuit, ketika ngunjal (mengangkut) hasil panen padi harus dilakukan dengan cara dipikul. Manusia memikul dan padi dipikul adalah bentuk penghormatan kepada padi, yang dalam keseharian manusia mampu memberikan sumber kekuatan.

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar percaya, bahwa bertani bukan sebagai mata pencaharian. Namun, tujuannya lebih kepada bertani untuk kehidupan. 

Ketika manusia mampu memperlakukan alam dengan hormat dan baik seperti memperlakukan diri sendiri, maka alam akan mengembalikannya dengan memberikan kebutuhan yang melimpah.

Melalui adat istiadat yang terus dilestarikan oleh Kasepuhan Ciptagelar, kita pun belajar bahwa tak hanya memanusiakan manusia, menghargai proses bertani sebagai soko kehidupan harus terus dilestarikan.

Asy Syaffa Nada biasa dipanggil Syafa. Selain suka menulis, dia juga hobi gambar yang lucu-lucu. Kalau mau kenalan atau lihat koleksi gambarnya bisa cek @dudelthings