1. Home
  2. sosial
  3. Kedelai Impor Lebih Unggul dari Produksi Lokal?

Kedelai Impor Lebih Unggul dari Produksi Lokal?

0
0

Indotnesia, YOGYAKARTA – Di awal tahun 2021, tahu dan tempe mengalami kelangkaan di sejumlah daerah akibat harga kedelai impor naik.  Padahal, tahu dan tempe sering jadi lauk favorit sejumlah masyarakat Indonesia. 

Harga kedelai impor yang semula sekitar Rp 7.000 menjadi Rp 9.500 per kilogramnya. Kenaikan itu berdampak pada sejumlah perajin tahu dan tempe yang mogok produksi selama tiga hari.

Meski sempat mengalami kelangkaan, tahu dan tempe perlahan mulai kembali muncul di sejumlah pasar. Untuk mengakali harga jual di tengah tingginya harga kedelai impor, beberapa produsen memilih untuk memperkecil ukuran tahu dan tempe. 

Perbedaan Kedelai Impor dan Lokal

Konsumsi kedelai di Indonesia termasuk yang terbesar kedua di dunia. Sebagian besarnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi tahu dan tempe. Namun, produksi kedelai nasional belum mencukupi kebutuhan sehingga impor dipilih jadi jalan keluar.

Berdasarkan Data Gabungan Asosiasi Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo), mayoritas kedelai impor berasal dari sejumlah negara barat, yaitu Amerika Serikat (AS), Kanada, Brazil, dan Uruguay. Dari sejumlah negara tersebut, AS menjadi salah satu pemasok terbesar kedelai impor.

Perbedaan kedelai impor dan lokal dapat dilihat dari produktivitas tanamnya. Kedelai impor dari AS memiliki produktivitas lebih banyak. Masa tanamnya berlangsung selama 5-6 bulan, tetapi produksinya bisa mencapai sekitar 4 ton per hektar.

Sedangkan masa tanam kedelai lokal lebih singkat, yaitu sekitar 3 bulan. Hasil produksinya pun hanya sekitar 2 ton per hektar.

Dalam setahun, berdasarkan Data Kementerian Pertanian (2020), produksi kedelai nasional mengalami penurunan signifikan, yaitu berkisar di bawah 800.000 ton. Padahal, konsumsi kedelai nasional pada 2018 mencapai 3 juta ton.

Selain itu, perbedaan kedelai impor dan lokal terlihat dari ukurannya. Kedelai impor memiliki ukuran yang lebih seragam dan bersih. Jenis kedelai ini, dianggap cocok digunakan untuk bahan baku tempe yang membutuhkan ukuran kacang sama.

Sementara itu, kedelai lokal memiliki ukuran yang beragam, sehingga lebih cocok sebagai bahan baku tahu. Sebab, produksi tahu hanya mengambil sari pati kedelai.

Tingginya Konsumsi Kedelai, Pengaruh Tahu dan Tempe?

Kalau dirunut dari sejarah, ketergantungan terhadap kedelai tak lepas dari pengaruh enaknya tahu dan tempe yang jadi makanan favorit sejumlah masyarakat Indonesia. Dua makanan tinggi protein nabati yang terjangkau ini, sudah jadi primadona bahkan sebelum kemerdekaan RI.

Pada 1930 hingga 1940-an, popularitas tempe meningkat ketika terjadi krisis ekonomi global yang juga berdampak pada Indonesia. Sedangkan tahu, mulai tenar sejak 1970. Panganan bertekstur empuk ini dikenal sebagai makanan alternatif pengganti daging, karena kandungan gizinya yang tak jauh beda.

Mengolah kedelai menjadi tahu dan tempe, bisa jadi salah satu cara untuk tetap memperhatikan asupan protein nabati tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Maka, tidak heran jika tahu dan tempe sering disebut makanan semua kalangan. 

Tapi, kalau harga kedelai impor terus meroket dan mempengaruhi harga jual tahu dan tempe, apa mungkin tahu dan tempe masih bisa menjadi primadona para ibu rumah tangga?

Lalu, kapan kita bisa swasembada pangan, termasuk kedelai?

Asy Syaffa Nada biasa dipanggil Syafa. Selain suka menulis, dia juga hobi gambar yang lucu-lucu. Kalau mau kenalan atau lihat koleksi gambarnya bisa cek @dudelthings